Laman

Selasa, 07 Agustus 2012

SIAPA YANG BERHAK MENETAPKAN AWAL BULAN?

Alkisah, ada dua orang yang sedang berselisih pendapat terkait awal ramadhan.
Orang pertama bertanya,” Kenapa anda masih makan dan minum, padahal kaum muslimin sudah mulai shaum?.” Orang kedua menjawab,“ Kementerian Agama memutuskan tanggal satu jatuh pada hari besok”. Orang pertama memberitahukan,” Arab Saudi telah menentukan awal bulan dengan rukyatul hilalnya, kenapa tidak mengikutinya?“ Orang kedua menjelaskan,” Rukyat hilal itu bersifat lokal, keseragaman rukyat hilal hanya berlaku pada wilayah hukum negara setempat.” Orang pertama mengatakan,” Perbedaan waktu Indonesia dengan Arab Saudi hanya 4 jam saja.” Orang kedua menerangkan,” Ibadah itu sesuai waktunya, misalnya azan maghrib berkumandang jam 18.00 WIB, Apakah dibolehkan berbuka puasa pada jam 17.59 WIB?.” Orang pertama menyahut,“ Tentu saja hal itu dilarang, karena membatalkan puasa.” Orang kedua membandingkan,“18.00 dikurang 17.59 sama dengan satu,  cuma selisih 1 menit saja sudah bermasalah, sementara kenapa yang beda 4 jam biasa biasa saja?” Orang pertama meyakinkan diri,” Saya percaya pada informasi rukyatul hilal Mekah yang diberitahukan oleh organisasi.” Orang kedua mengandaikan,” Bila penetapan awal ramadhan dipercayakan kepada perorangan atau organisasi tertentu maka bagaimana bila ada 10 orang atau organisasi yang punya ketetapan berbeda? Siapa yang akan dikuti ?” Orang pertama bersikukuh teguh,“ Tentu akan memilih keputusan organisasi, karena berdasarkan rukyat, soal siapa yang benar atau salah, semua diserahkan kepada Allah, biar Dia yang menghakimi di akhirat kelak.”
Barangkali anda pernah berpolemik dengan tetangga atau bahkan keluarga sendiri terkait masalah awal ramadhan? Perbedaan itu memang sudah berlangsung cukup lama di Indonesia. Pada desa tertentu, dapat ditemukan shalat idul fitri dilaksanakan 2 hari.  Kenapa hal itu terjadi? Tulisan ini mencoba menjelaskan sebab perbedaan itu. Dan adakah pengaruhnya? Serta bagaimana seharusnya umat Islam bersikap?
Kewajiban puasa dilaksanakan ketika bulan ramadhan telah tiba. Cara mengetahui bulan baru melalui penetapan hilal. Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw,

Apabila kalian melihat hilal maka shaumlah, dan jika kalian melihatnya (kembali) maka akhirilah shaum. Tetapi jika terhalang, shaumlah 30 hari (HR Muslim)”

Dalam kitab sahih fikih sunah jilid kedua yang ditulis oleh Abu Malik Kamal bin Asy-Sayyid Salim dijelaskan bahwa rukyat merupakan satu-satunya metode yang dibenarkan untuk megetahui posisi hilal. Dia secara tegas menolak penggunaan metode lain dalam memastikan hilal. Ia meyakini bahwa rukyat tidak dapat tergantikan oleh ilmu hisab. Menurutnya, menentukan awal ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Adapun hadits yang jadi pijakannya ialah sabda nabi Muhammad ,

Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak pandai menulis dan menghitung, satu bulan adalah sekian, sekian ... yakni terkadang 29 hari dan kadangkala 30 hari (HR Bukhari Muslim)”

Namun, penganut metode hisab berpandangan bahwa yang jadi persoalan adalah kapan tanggal 1 ramadhan itu? Bukan kewajiban melihat hilalnya? Perhitungan hisab dinilai terbukti secara empiris karena menggunakan rumus-rumus yang sudah dibakukan. Rumusan itu dijadikan acuan dalam menentukan awal bulan bahkan sampai 12 bulan.
Baik penganut rukyat maupun hisab, keduanya berpegang pada dalil yang sama. Hanya saja interpretasi atas hadits itu berbeda. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat golongan yang menggabungkan  rukyat dan hisab ketika akan menentukan awal ramadhan. Alasanya, rukyat dan hisab setara. Keduanya sama-sama sebagai alat untuk mengetahui kapan tanggal satu itu masuk. Rukyat bisa menguatkan hisab, begitu juga sebaliknya.
Namun, perbedaan penentuan awal bulan bukan lagi soal metode ‘rukyat versus hisab’. Sekarang bertambah, ada pertentangan antara ‘rukyat lokal’ vs ‘rukyat global’. Selain itu, perbedaan kriteria antara ‘hisab wujudul hilal’ dengan ‘hisab imkanur rukyat’ menambah daftar metode penentuan bulan baru.  Rukyat lokal adalah pengamatan hilal di satu wilayah. Kemudian hasilnya berlaku hanya di wilayah itu saja. Sedangkan rukyat global ialah pengamatan hilal pada suatu negara. Dan melalui jaringan komunikasi, keputusan itu diinformasikan ke seluruh dunia. Adapaun Hisab wujudul hilal berarti wujud bulan itu tetap ada meskipun tidak terlihat. Apabila hilal telah berada diatas ufuk saat magrib maka bulan baru telah tiba. Meskipun hilal berada pada posisi nol derajat. Sedangkan yang dimaksud hisab imkanur rukyat ialah bulan baru ditentukan oleh kemungkinan terlihat atau tidaknya hilal. Syarat hilal agar memungkinkan dirukyat adalah jika tinggi hilal minimal empat derajat.
Itulah diantara sejumlah metode penetuan awal bulan. Penggunaan metode dan kriteria hilal yang berbeda menghasilkan keragaman. Namun, apakah keragaman itu membawa maslahat atau madharat? Ketika ada perbedaan bulan baru, biasanya diikuti oleh akhir bulan yang berlainan. Resikonya terdapat hari raya dua kali dalam bulan syawal.
Diantara dampak pelaksanaan sholat idul fitri dua kali di Indonesia adalah: Pertama, saling menghakimi. Bagi orang yang shaumnya lebih dahulu, ia menggunakan dalil rukyat untuk menilai orang yang belum shaum. Mereka mengatakan bahwa puasa wajib dikerjakan bila hilal telah dirukyat. Mereka memakai dalil,

“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh (HR Bukhari)”

Sedangkan bagi yang mengikuti keputusan sidang itsbat, mereka menggunakan dalil larangan mendahului puasa kepada mereka yang sedang berpuasa. Mereka menyodorkan dalil,

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, "Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali bagi seseorang yang sudah rutin berpuasa, hendaklah ia berpuasa pada hari itu (HR Bukhari Muslim )”

Begitu juga ketika lebaran berlangsung, orang yang sedang merayakan idul fitri, menilai orang yang masih berpuasa dengan dalil bahwa idul fitri itu harinya makan dan minum. Oleh karena itu, berpuasa pada hari fitri adalah haram. Mereka beralasan dengan dalil,

Umar bin Al-Khatthab r.a. berkata: “ Pada kedua hari ini, Nabi saw. telah melarang orang puasa, yaitu hari raya Idul Fitri sesudah Ramadhan dan hari raya Idul Adha sesudah wukuf di Arafah (HR Bukhari Muslim)”

Namun, bagi yang masih berpuasa, mereka berpegang pada dalil lain. Mereka berpandangan bahwa makan dan minum ketika hari masih berpuasa adalah haram. Mereka memberikan dalil kewajiban shaum,

Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dua tangaku,  membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu“. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (HR An-Nasa'i)”

Adapun dampak kedua ialah bid’ah dipandang semakin bertambah. Atas nama ukhuwah islamiyah, seorang melakukan sholat ied 2 kali, ada juga yang sekaligus jadi khatib juga. Namun, ketika dia sholat idul fitri yang kedua, ia niatkan sholat sunah dhuha. Tetapi apakah ada sunah dari nabi Muhammad, sholat dhuha itu 7 kali takbir pada rakaat pertama dan 5 kali takbir pada rakaat kedua. Dan sejak kapan sholat dhuha itu ada khutbahnya? Inilah yang dinilai bid’ah. Selain itu, ada masyarakat awam yang bersikap pragmatis, ketika puasa mengikuti pemerintah tetapi ketika lebaran bareng dengan yang puasanya duluan. Andaikata puasa kala itu 29 hari. Praktis, mereka berpuasa hanya 28 hari. Adakah Rasulullah berpuasa sebanyak 28 hari pada bulan ramadhan? Tentu hal tersebut dianggap bid’ah.
Jika awal dan akhir ramadhan itu seragam, tentu saja kemadharatan itu bisa diminimalisir. Lalu siapa yang berhak menyamakan bulan baru? Apakah organisasi atau Kementerian Agama?  bila ketetapan itu diserahkan kepada individu atau kelompok maka akan muncul keragaman seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan sempat diberikan oleh televisi, satu syawal ada empat hari pelaksanaan sholat idul fitri. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya mengikuti keputusan pemerintah selama ketetapan itu bukan maksiat kepada Tuhan. Dalam Alqur’an terdapat firman Allah,
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Meskipun pemerintah telah menetapkan awal bulan. Namun Kementerian Agama masih memberikan kelonggaran terhadap keyakinan yang berbeda. Apakah ini wujud dari sikap toleransi? Saling menghormati perbedaan dan menjalani keyakinannya masing-masing. Namun, bukankah bila ketidaktegasan itu dibiarkan justru semakin lama akan menimbulkan perselisihan dan kebingungan pada masyarakat awam. Hukum jadi mengambang. Akibatnya muncul praktek yang dianggap bid’ah disana-sini. Dalam hadist diperintahkan taat kepada pemimpin,
Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka(HR. Muslim)


Rijal Arham, S.Sos.I
Guru MI Ar-Ridha Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar