Alkisah, ada dua orang yang sedang
berselisih pendapat terkait awal ramadhan.
Orang pertama bertanya,” Kenapa anda
masih makan dan minum, padahal kaum muslimin sudah mulai shaum?.” Orang kedua
menjawab,“ Kementerian Agama memutuskan tanggal satu jatuh pada hari besok”.
Orang pertama memberitahukan,” Arab Saudi telah menentukan awal bulan dengan
rukyatul hilalnya, kenapa tidak mengikutinya?“ Orang kedua menjelaskan,” Rukyat
hilal itu bersifat lokal, keseragaman rukyat hilal hanya berlaku pada wilayah
hukum negara setempat.” Orang pertama mengatakan,” Perbedaan waktu Indonesia
dengan Arab Saudi hanya 4 jam saja.” Orang kedua menerangkan,” Ibadah itu
sesuai waktunya, misalnya azan maghrib berkumandang jam 18.00 WIB, Apakah
dibolehkan berbuka puasa pada jam 17.59 WIB?.” Orang pertama menyahut,“ Tentu
saja hal itu dilarang, karena membatalkan puasa.” Orang kedua membandingkan,“18.00
dikurang 17.59 sama dengan satu, cuma selisih
1 menit saja sudah bermasalah, sementara kenapa yang beda 4 jam biasa biasa
saja?” Orang pertama meyakinkan diri,” Saya percaya pada informasi rukyatul
hilal Mekah yang diberitahukan oleh organisasi.” Orang kedua mengandaikan,” Bila
penetapan awal ramadhan dipercayakan kepada perorangan atau organisasi tertentu
maka bagaimana bila ada 10 orang atau organisasi yang punya ketetapan berbeda?
Siapa yang akan dikuti ?” Orang pertama bersikukuh teguh,“ Tentu akan memilih
keputusan organisasi, karena berdasarkan rukyat, soal siapa yang benar atau
salah, semua diserahkan kepada Allah, biar Dia yang menghakimi di akhirat kelak.”
Barangkali anda pernah berpolemik
dengan tetangga atau bahkan keluarga sendiri terkait masalah awal ramadhan?
Perbedaan itu memang sudah berlangsung cukup lama di Indonesia. Pada desa
tertentu, dapat ditemukan shalat idul fitri dilaksanakan 2 hari. Kenapa hal itu terjadi? Tulisan ini mencoba
menjelaskan sebab perbedaan itu. Dan adakah pengaruhnya? Serta bagaimana
seharusnya umat Islam bersikap?
Kewajiban puasa dilaksanakan ketika
bulan ramadhan telah tiba. Cara mengetahui bulan baru melalui penetapan hilal.
Sebagaimana sabda nabi Muhammad saw,
“Apabila kalian melihat hilal maka
shaumlah, dan jika kalian melihatnya (kembali) maka akhirilah shaum. Tetapi
jika terhalang, shaumlah 30 hari (HR Muslim)”
Dalam kitab sahih fikih sunah jilid kedua
yang ditulis oleh Abu Malik Kamal bin Asy-Sayyid Salim dijelaskan bahwa rukyat
merupakan satu-satunya metode yang dibenarkan untuk megetahui posisi hilal. Dia
secara tegas menolak penggunaan metode lain dalam memastikan hilal. Ia meyakini
bahwa rukyat tidak dapat tergantikan oleh ilmu hisab. Menurutnya, menentukan
awal ramadhan dengan hisab adalah tidak sah. Adapun hadits yang jadi pijakannya
ialah sabda nabi Muhammad ,
“Sesungguhnya kami adalah ummat yang
ummi, tidak pandai menulis dan menghitung, satu bulan adalah sekian, sekian ...
yakni terkadang 29 hari dan kadangkala 30 hari (HR Bukhari Muslim)”
Namun, penganut metode hisab
berpandangan bahwa yang jadi persoalan adalah kapan tanggal 1 ramadhan itu?
Bukan kewajiban melihat hilalnya? Perhitungan hisab dinilai terbukti secara
empiris karena menggunakan rumus-rumus yang sudah dibakukan. Rumusan itu
dijadikan acuan dalam menentukan awal bulan bahkan sampai 12 bulan.
Baik penganut rukyat maupun hisab,
keduanya berpegang pada dalil yang sama. Hanya saja interpretasi atas hadits
itu berbeda. Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat golongan yang
menggabungkan rukyat dan hisab ketika
akan menentukan awal ramadhan. Alasanya, rukyat dan hisab setara. Keduanya
sama-sama sebagai alat untuk mengetahui kapan tanggal satu itu masuk. Rukyat
bisa menguatkan hisab, begitu juga sebaliknya.
Namun, perbedaan penentuan awal bulan bukan
lagi soal metode ‘rukyat versus hisab’. Sekarang bertambah, ada pertentangan
antara ‘rukyat lokal’ vs ‘rukyat global’. Selain itu, perbedaan kriteria antara
‘hisab wujudul hilal’ dengan ‘hisab imkanur rukyat’ menambah daftar metode
penentuan bulan baru. Rukyat lokal
adalah pengamatan hilal di satu wilayah. Kemudian hasilnya berlaku hanya di
wilayah itu saja. Sedangkan rukyat global ialah pengamatan hilal pada suatu
negara. Dan melalui jaringan komunikasi, keputusan itu diinformasikan ke
seluruh dunia. Adapaun Hisab wujudul hilal berarti wujud bulan itu tetap ada
meskipun tidak terlihat. Apabila hilal telah berada diatas ufuk saat magrib
maka bulan baru telah tiba. Meskipun hilal berada pada posisi nol derajat. Sedangkan
yang dimaksud hisab imkanur rukyat ialah bulan baru ditentukan oleh kemungkinan
terlihat atau tidaknya hilal. Syarat hilal agar memungkinkan dirukyat adalah
jika tinggi hilal minimal empat derajat.
Itulah diantara sejumlah metode
penetuan awal bulan. Penggunaan metode dan kriteria hilal yang berbeda
menghasilkan keragaman. Namun, apakah keragaman itu membawa maslahat atau
madharat? Ketika ada perbedaan bulan baru, biasanya diikuti oleh akhir bulan
yang berlainan. Resikonya terdapat hari raya dua kali dalam bulan syawal.
Diantara dampak pelaksanaan sholat
idul fitri dua kali di Indonesia adalah: Pertama, saling menghakimi. Bagi orang
yang shaumnya lebih dahulu, ia menggunakan dalil rukyat untuk menilai orang
yang belum shaum. Mereka mengatakan bahwa puasa wajib dikerjakan bila hilal
telah dirukyat. Mereka memakai dalil,
“Berpuasalah kalian dengan
melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian
terhalang maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga
puluh (HR Bukhari)”
Sedangkan bagi yang mengikuti keputusan sidang itsbat,
mereka menggunakan dalil larangan mendahului puasa kepada mereka yang sedang
berpuasa. Mereka menyodorkan dalil,
Dari Abu Hurairah
r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, "Janganlah kamu mendahului
Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali bagi seseorang
yang sudah rutin berpuasa, hendaklah ia berpuasa pada hari itu (HR
Bukhari Muslim )”
Begitu juga ketika lebaran
berlangsung, orang yang sedang merayakan idul fitri, menilai orang yang masih
berpuasa dengan dalil bahwa idul fitri itu harinya makan dan minum. Oleh karena
itu, berpuasa pada hari fitri adalah haram. Mereka beralasan dengan dalil,
Umar bin Al-Khatthab
r.a. berkata: “ Pada kedua hari ini, Nabi saw. telah melarang orang puasa,
yaitu hari raya Idul Fitri sesudah Ramadhan dan hari raya Idul Adha sesudah
wukuf di Arafah (HR Bukhari Muslim)”
Namun, bagi yang masih berpuasa,
mereka berpegang pada dalil lain. Mereka berpandangan bahwa makan dan minum
ketika hari masih berpuasa adalah haram. Mereka memberikan dalil kewajiban
shaum,
Dari Abu Umamah
Al-Bahili Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dua
tangaku, membawaku ke satu gunung yang
kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu“. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai
ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun
bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah
teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang
digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari
mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang
berbuka sebelum halal puasa mereka (HR An-Nasa'i)”
Adapun dampak kedua ialah bid’ah dipandang
semakin bertambah. Atas nama ukhuwah islamiyah, seorang melakukan sholat ied 2
kali, ada juga yang sekaligus jadi khatib juga. Namun, ketika dia sholat idul
fitri yang kedua, ia niatkan sholat sunah dhuha. Tetapi apakah ada sunah dari
nabi Muhammad, sholat dhuha itu 7 kali takbir pada rakaat pertama dan 5 kali
takbir pada rakaat kedua. Dan sejak kapan sholat dhuha itu ada khutbahnya? Inilah
yang dinilai bid’ah. Selain itu, ada masyarakat awam yang bersikap pragmatis, ketika
puasa mengikuti pemerintah tetapi ketika lebaran bareng dengan yang puasanya
duluan. Andaikata puasa kala itu 29 hari. Praktis, mereka berpuasa hanya 28
hari. Adakah Rasulullah berpuasa sebanyak 28 hari pada bulan ramadhan? Tentu
hal tersebut dianggap bid’ah.
Jika awal dan akhir ramadhan itu
seragam, tentu saja kemadharatan itu bisa diminimalisir. Lalu siapa yang berhak
menyamakan bulan baru? Apakah organisasi atau Kementerian Agama? bila ketetapan itu diserahkan kepada individu
atau kelompok maka akan muncul keragaman seperti yang terjadi di Indonesia saat
ini. Bahkan sempat diberikan oleh televisi, satu syawal ada empat hari
pelaksanaan sholat idul fitri. Oleh karena itu, sebagai warga negara Indonesia,
sudah seharusnya mengikuti keputusan pemerintah selama ketetapan itu bukan
maksiat kepada Tuhan. Dalam Alqur’an terdapat firman Allah,
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri
kalian” (QS. An Nisa: 59)
Meskipun pemerintah telah menetapkan awal bulan. Namun
Kementerian Agama masih memberikan kelonggaran terhadap keyakinan yang berbeda.
Apakah ini wujud dari sikap toleransi? Saling menghormati perbedaan dan menjalani
keyakinannya masing-masing. Namun, bukankah bila ketidaktegasan itu dibiarkan
justru semakin lama akan menimbulkan perselisihan dan kebingungan pada
masyarakat awam. Hukum jadi mengambang. Akibatnya muncul praktek yang dianggap
bid’ah disana-sini. Dalam hadist diperintahkan taat kepada pemimpin,
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah
yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim)
Rijal Arham, S.Sos.I
Guru MI Ar-Ridha Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar