Laman

Selasa, 07 Agustus 2012

HINDARI MENUDUH KAFIR




Alkisah, ada seorang lelaki yang sudah membunuh sebanyak 99 orang. Lalu pembunuh itu menyesali semua perbuatannya dan mau bertaubat. Ia pun mencari orang shaleh untuk ditanya soal taubatnya. lalu ada yang menunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Dia pun bergerak untuk bertemu orang itu. Setibanya disana, Ia mengutarakan maksud kedatangannya. Lalu dia bertanya kepadanya,

Saya yang sudah menghilangkan 99 nyawa manusia, apakah taubat saya akan diterima oleh Allah?

Dengan kedangkalan ilmunya, orang alim itu menjelaskan,

Membunuh 1 orang saja berdosa besar, apalagi melenyapkan 99 orang, mana mungkin Allah bisa menerima taubatmu. Dosamu sungguh terangat besar. Taubatmu pasti ditolak.” 

Mendengar jawaban itu, ia pun langsung naik darah, tak kuasa mengendalikan emosi, dan gelap mata. Hingga dia sampai hati menghilangkan nyawa orang shaleh itu. Maka jumlah korban yang dibunuh olehnya jadi genap 100 orang.
Peristiwa terakhir itu menyisakan penyesalan yang mendalam. Ia pun kembali mencari orang alim lainnya. Dia bertanya kesana-sini dengan semangat tampa putus asa hingga akhirnya ada seseorang yang menunjukkan arah jalan menuju orang yang taat beragama. Ia pun berhasil menjumpainya. Namun ada yang beda dari orang shaleh pertama, ternyata orang yang ditemuinya ini, seorang ahli ibadah dan berilmu. Ketika dia mengungkapkan bahwa  ia telah membunuh 100 orang lalu apakah Allah akan menolak taubatnya. Maka pendeta itu pun menerangkan bahwa dosanya bisa dima’afkan, tak ada seorang pun yang dapat menghalangi seseorang untuk bertaubat, dan pintu taubat selalu terbuka bagi siapa saja. Lelaki itu pun gembira mendengar penjelasan orang shaleh yang berilmu itu.
Kemudian, orang alim itu menyuruhnya tinggal bersama para penyembah Allah di suatu dusun.  Atas sarannya, dia pun segera beranjak pergi ke desa yang dimaksud. Namun, belum sampai kesana, lelaki itu pun meninggal ditengah perjalanan. Kematiannya menyebabkan malaikat Rahmat dan malaikat Azab berselisih. Polemik itu tentang siapa yang berhak menjemput rohnya? Apakah malaikat Rahmat atau malaikat Azab? Kedua malaikat itu punya alasan tersendiri. Malaikat Rahmat beralasan lelaki itu telah bertaubat. Sedangkan malaikat Azab menganggap, meskipun ia sudah bertaubat tapi dia belum melakukan kebaikan apa pun.
Lalu Allah mengutus malaikat lain untuk meleraikan perselisihan itu. Dia pun berkata kepada kedua malaikat itu,

Ukurlah jarak antara kedua desa itu (desa kafir dengan desa iman), manakah jarak yang terdekat, ke situlah ia digolongkan. Jika lelaki itu lebih dekat ke desa kafir, maka malaikat Azab yang berhak membawanya. Tapi bila dia lebih dekat ke desa iman, maka rohnya akan dibawa oleh malaikat Rahmat.”

Ketika pengukuran itu selesai. Ternyata, jarak antara kedua desa itu bedanya hanya sejengkal tanah. Sejengkal lebih dekat ke desa iman. Bila diilustrasikan dengan angka 100%. Maka jarak desa kafir ke desa iman adalah 50% + 1. Dengan begitu, malaikat Rahmatlah yang berhak membawa roh lelaki itu.
Kisah tersebut, makna hadisnya dapat dibaca pada Riyadhus-shalihin bab taubat. Dalam cerita itu, Allah menerima taubat si pembunuh, meskipun ia sudah menghilangkan 100 nyawa. Allah itu maha penerima taubat, sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya  (QS An-Nisa: 48)”

Selain itu, cerita pembunuh yang bertaubat melukiskan bahwa akhir hidup seseorang hanya Allah yang mengetahuinya. Siapa sangka lelaki itu ternyata diampuni oleh-Nya. Padahal diwaktu hidupnya, dia dengan ringan tangan menghilangkan banyak nyawa. Begitulah kehidupan manusia yang terkadang sukar ditebak. Sepertinya, bila mengikuti alur perkiraan kebanyakan manusia awam, orang yang hidupnya diwarnai kejahatan maka dia hampir dipastikan mati dalam keadaan penuh dosa dan masuk Neraka. Ternyata, asumsi itu tak sepenuhnya benar. Karena hidup begitu dinamis. Manusia itu makhluk hidup yang bisa berubah dan sadar setiap saat. Tak ada seorang pun yang tahu bagaimana perjalanan hidup manusia berakhir. Hal itu senada dengan bunyi hadist berikut,

” ... Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kamu atau seorang laki-laki akan beamal seperti amalnya ahli Neraka sampai tidak ada jarak antara dia dan Neraka melainkan satu depa atau satu hasta, ternyata catatan takdir telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalnya ahli Surga maka ia pun memasukinya. Dan sesungguhnya seorang laki-laki akan beramal seperti amalnya ahli Surga sampai tidak ada jarak antara dia dengan Surga  melainkan satu hasta atau dua hasta, ternyata tulisan takdir mendahuluinya, sehingga ia mengamalkan amalnya ahli Neraka. Maka ia pun memasukinya” (HR  Bukhari Muslim).

Lelaki yang dikabarkan itu, dimasa hidupnya melakukan perbuatan ahli Neraka yaitu membunuh 100 orang. Hingga tak ada jarak antara dia dan Neraka melainkan satu hasta. Tapi takdir berkata lain, di ujung hidupnya, ia melakukan amalan ahli Surga yaitu bertaubat. Lalu rohnya pun diambil oleh malaikat Rahmat.
Bayangkan, hanya berjarak ‘sejengkal tanah’ sudah bisa masuk ke Surga Allah. Dalam kehidupan setiap manusia, sudah seharusnya sesama muslim saling menjaga lisannya. Hanya karena beda persepsi, tak satu jama’ah, berlainan organisasi, atau pun yang lainnya. Sesama saudara seiman selayaknya Tidak mudah melontarkan label-label negatif. Sebut saja misalnya, ada sekelompok anak muda yang punya ghirah keislaman sangat tinggi bahkan mereka siap berjihad fi sabilillah diminta atau pun tidak. Namun  sayangnya, semangat yang mengelora itu dibarengi dengan keilmuan yang dangkal. Akibatnya,  mereka beranggapan bahwa orang yang berada diluar ‘binaan’nya, dikategorikan sebagai orang kafir. Alasannya, siapa saja yang tidak ‘sepengajian’ dinilai masih dalam tatanan masyarakat jahiliyah yang menolak menerapkan ‘hukum Allah’ secara mutlak. Selain itu, mereka menjelaskan bahwa kekafiran dapat sirna bila dia mau ‘berhijrah’ dan ‘berbaiat’ kepada pemimpin mereka. Kelompok itu menambahkan, bahwa anggota baru yang enggan mengkafirkan orang yang dinilai kafir maka dia termasuk kafir juga. Padahal, sebelum firqah ini muncul, Rasulullah mengingatkan umatnya,

Jika seseorang berkata kepada saudaranya,’Hai Kafir’, maka sungguh salah satu dari keduanya telah terkena jika sebagaimana yang dikatakanya (benar), tapi bila tidak demikian (salah), maka (tuduhan itu) kembali kepada dirinya sendiri (HR Muttafaq ‘Alaih)”

Tudingan ‘kafir’ termasuk perkara yang sangat berbahaya sekali. Hanya Allah SWT yang menentukan seseorang itu kafir atau muslim. Sebagaimana Allah yang memutuskan Halal dan haram. Manusia dilarang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Ia tidak punya hak untuk memandang seseorang itu kafir atau muslim. Ketetapan itu sudah ada dalam Alqur’an dan Hadits. Oleh karena itu, sebaiknya berhati-hati dalam memberi vonis seseorang. Apalagi diketahui bahwa takdir hidup tak bisa diduga seperti lakon diatas. Ingat, ‘sejengkal tanah’ saja bisa mengubah segalanya.
Selain label ‘kafir’, masih ada label lain yang mungkin cukup familiar di telinga, umpamanya sebutan ahli bid’ah, atau panggilan pengikut liberal, dan sebagainya yang ditujukan kepada sesama muslim. Bila anggapan itu tak sesuai kenyataan, maka bisa jadi senjata makan tuan yaitu secara otomatis tuduhan itu akan menembak dirinya sendiri. Oleh sebab itu, hawa nafsu harus diredam, jauhkan lidah dan hati dari hal-hal yang ceroboh itu.
Meskipun takdir kematian itu ghaib. Tapi, dalam setiap rakaat sholat yang dilakukan minimal 17 kali dalam sehari, selalu dibaca surat al-Fatihah yang diawali dengan pujian kapada Allah, lalu dilanjutkan mengucapkan,
Ihdinash-shiraathal mustaqiim” Yang artinya,” Tunjukanlah kami ke jalan yang lurus.
Tunjukanlah kami’ bermakna permohonan bimbingan seorang hamba kepada Allah agar senantiasa tetap berada di jalan kebenaran. Karena pada umumnya, hati manusia punya kecendrungan berubah-ubah setiap waktu. Itulah mengapa keimanan bisa naik dan turun. Iman naik karena taat kepada Allah swt. Dan maksiat yang menyebabkan iman jadi turun. Oleh karena itu, seorang muslim yang berada pada jalur alqur’an dan sunnah, agar dia tak terpeleset ke jurang kesesasatan, maka ia senantiasa meminta kepada Allah SWT dengan kalimat,”tunjukanlah kami ke jalan yang lurus”. Hal itu sejalan dengan firman Allah  yang tercantum dalam surat Ali Imran ayat 8,

Ya Rabb kami, jangan Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-MU, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia)

Alangkah bijaknya, bila setiap muslim tidak gegabah memberikan vonis ‘kafir’ dan ‘label negatif lainya’ kepada sesama muslim.  Siapa pun tak bisa mendahului takdir Allah SWT. Wallahu ‘alam

Rijal Arham, S.Sos.I
Alumni STID Moh. Natsir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar